Seorang photographer sebenarnya dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam “menangkap” obyek photo-nya. Ia dapat “menjangkau” obyek dari jarak yang cukup jauh, dengan menggunakan lensa tele atau zoom, sehingga kewajaran obyek dapat terekam baik. Namun ada pula photographer yang justru melakukan sebaliknya. Ia mendekat pada obyek, melakukan komunikasi, melakukan pengamatan detail bahkan tak jarang berdialog langsung dengan object untuk dapat “menangkap” apa yang menjadi permasalahan sebenarnya. Untuk cara terakhir ini yang paling tepat digunakan adalah lensa pendek atau kadang lensa lebar (wide), sebab dengan kedua pilihan lensa tersebut akan memberi keluasan dan kelincahan gerak photographer. Selain itu, tentu juga memudahkan mengatur arah penyinaran, sudut pengambilan dan lain sebagainya.
James Nachtwey, seorang photo jurnalis perang. Ia melaksanakan tugasnya di medan-medan “perang” dengan metode pendekatan obyek, dengan menggunakan kamera berlensa pendek saja. Artinya ia datangi obyect photo sedekat mungkin, mencoba menyapa dan berinteraksi langsung, berdialog, berdiskusi dengan topik sederhana maupun berat, dengan bahasa lisan maupun bahasa tanda. Ia selalu mencoba dan tidak terburu-buru untuk membuat photo. James akan sabar dan terus “mendekat” hingga secara intuisi ia bisa “diterima” obyeknya. Namun sebelum hal tersebut bisa ia lakukan tentu ia sudah mempelajari dan mengerti seluk beluk obyek berdasar pada pembacaan “peta” yang entah bagaimana dan darimana ia dapat. Hal ini sangat penting dan menjadi pokok untuk seorang professional. Sebuah “peta” akan menuntun banyak hal. Sebuah “peta” akan membawa kita pada tujuan dengan tepat, effektif dan effisien. Karenanya, modal awal seorang professional adalah knowledge (pengetahuan) perihal konsep yang digagas dan penunjangnya.
Coba kita lihat bagaimana James Nachtwey kerja di medan “tempur”-nya di pinggiran rel-rel ibukota, Jakarta. (lihat foto). James menyiapkan “alat tempurnya” begitu effektif. Berpakaian sopan, dengan sebuah tas punggung yang tidak berat, sebab tidak banyak peralatan foto yang ia bawa. Berpenampilan rapi, menarik, bersikap gesit dan tegas. Hal ini tampak ketika James ketika bermaksud mengambil gambar dengan konsep “ketimpangan dan ketidak adilan” dalam masyarakat kapitalis. Sebagai seorang professional James tentu sudah mempelajari permasalahan konsepnya, bahkan akhirnya ia dapat menetukan waktu dan tempat yang tepat untuk menjabarkan konsepnya. Membaca perkembangan politik, ekonomi dan budaya di Indonesia, membuat James mengerti di sinilah (Indonesia, tepatnya Jakarta), konsep pemikirannya kemungkinan dapat divisualisasikan. Lalu James ke Jakarta dan studi lapangan. Ia melihat dan “menyentuh” obyeknya langsung dan mendapat gambarnya.
Amati, James “membuntuti” obyek fotonya (seorang pengemis cacat fisik) yang tengah melaksanakan kerjanya di perempatan jalan ramai, di sebelah lampu merah. Ia sengaja memilih lensa pendek untuk menangkap ketajaman obyek dan lingkungannya, ia pertimbangkan cermat. Dengan lensa pendek memungkinkan James merekam detail secara tajam untuk menunjang konsep. Pada photo pengemis di perempatan lampu merah, (lihat photo), James mengambilnya dari belakang mobil, sehingga wajah sang pengemis terlihat jelas. Sebab pada wajah semua perjalanan kehidupan manusia dicatatkan. Lalu posisi obyek (sedikit miring) seolah ingin menunjukkan keterbatasan fisiknya, dan menaruh sebuah mobil mewah di depan obyeknya jelas ingin menunjukkan perbedaan kelas kesejahteraan antar manusia. Dan yang paling menarik, James keputusan “menjinak”-kan semua keruwetan warna di jalanan dengan men-setting kameranya pakai film hitam-putih (BW).
Pada photo yang lain, photo keluarga pra sejahtera yang hidup di pinggiran rel-rel kereta sepanjang ibukota, James pasti telah melakukan pembacaan atas obyek-nya dengan sejumlah “informasi” yang entah darimana ia dapatkan. Selanjutnya permasalahan akan lebih mudah dideteksi dan dipelajari. Setelah itu ia tinggal melakukan setting atas konsep-nya. Dari sinilah “kerja” lapangan dimulai. Ia datangi lokasi obyek pada jam dan sudut yang “diperkirakan” cocok dan mendukung visualisasinya. (lihat foto keluarga miskin hidup di pinggiran rel kereta api). James segera menyapa mereka, mengajaknya berdialog sekalipun awalnya kedua pihak sangat kaku, mungkin akibat penggunaan bahasa yang saling tidak atau kurang dimengerti. Tapi sebenarnya, disinilah “keindahan” itu mulai “dirajut”. Filsafat mencatat, pada proses kerjalah keindahan yang sebenarnya hadir dan dirasakan, dan pada hasil kerja yang tinggal adalah bayang-bayangnya saja.
James Nachtwey persis mengerti hal tersebut. Dengan nyaman didekatinya obyek fotonya, dinikmati prosesnya. Mereka berdialog sekalipun lebih banyak menggunakan bahasa tanda, bahasa universal! (?) Dengan bahasa tubuh James yang baik, maka obyek merasa tak curiga dan akhirnya bisa “menerima”. Memang proses ini pada James biasanya begitu cepat, tentu semua karena pengalaman dan jam terbangnya yang sangat tinggi. Kondisi demikian begitu nyata hasilnya tatkala dengan mudahnya James mengikuti sang obyek (seorang pengemis) cacat fisik bersama anaknya yang hendak mandi di pinggiran sungai yang keruh airnya. Dan si pengemis tidak keberatan!
Ia merasa James “bukan” orang asing lagi, mungkin sudah dianggap sahabat (?) atau apalah, yang jelas sudah tidak perlu dimasalahkan, alhasil “aksi” sang obyek tampil wajar-wajar di depan lensa James, tidak kaku dan berhasil.
Mengamati “aksi”-nya di medan perang di Palestina, pada pejuang intifadah, James berhasil menyelinap diantara para pejuang Afganistan yang “main” bersenjatakan batu, ketapel dan molotof. Sedangkan di sisi jauh, tentara Yahudi dengan senjata mutakhir berpeluru tajam, tank-tank dan gas air mata terus membombardir lawannya tanpa ampun.
Pada sudut yang telah dipelajari, dengan keberanian luar biasa dan naluri kegesitan seorang photo jurnalis, James mengabadikan “perang” yang tak berimbang dan telah menjadi saksi atas ke-biadab-an tersebut. Frame demi frame mencatat setiap peristiwa tanpa ada rekayasa lagi. Kepulan asap mesiu, gas air mata menjadi ancaman yang tidak main-main. James menyadari hal itu, dengan tenang dan terus mengikutinya hingga usai. (lihat photo di Afganistan). James Nachtwey seolah ingin menyampaikan pikirannya kepada dunia perihal “dihancurkannya” perikemanusiaan sebuah bangsa (palestina) oleh Israel. Memang hal yang tak mudah, tak sederhana, namun sudah menjadi pilihannya dan tepat.
Begitulah kehebatan seorang James Nachtwey dalam berinteraksi dengan obyeknya, selain tentu kehebatannya menggunakan segala peralatan dan pengetahuan photografi-nya.
Photo-photo jurnalis yang bersifat human interest karya James Nachtwey, memang tidak banyak kita temui di ruang public, karena itu penulis ingin menyampaikannya barang secuil untuk memulai. Sebab pada James Nachtwey kejelian membaca permasalahan kontemporer dan kejeniusan “menyelesaikan-nya” perlu kita tauladani dan James telah membuktikan bahwa ia adalah salah satu photographer terbaik di dunia saat ini.
Sumber : Discovery Indonesia